Temaram
Langit sore bergelayut makin menunjukkan tajinya. Seruput sengau ufuk merah-jingga
di pelipis horizon barat ditindihnya dengan gelap yang lamat. Pantat masih
menempel di bangku taman kota. Diredupi cahaya lampu yang Cuma beberapa watt,
ada beberapa lepidoptera malam yang jilir mudik. Mulai mencari
penghidupan. Masih belum terlihat rodentia satu pun, hewan pengerat
mahasakti itu masih belum nampak. Sepertinya masih asik di kolong got yang
diatasnya berjejer penjual bunga.
Tempat ini lah dulu aku bertemu dia. Dia yang memalingkan tatapan muram
durjaku dari ketololan hidup. Ya, kuingat waktu itu juga sore hari. Hanya saja
hari itu kita bertemu. Hari ini tidak. Kugenggam keras ikatan bunga yang kubeli
dari salah satu penjual bunga yang berjajar diatas got itu. Hmm, mungkin mereka
mau mengurangi dampak busuknya air got itu, ah entahlah.
**
“Hey, kamu ngeliatin aku ya dari
tadi?”. Dia tanpa ba-bi-bu menohok ulu hatiku.
“Hah, ahh, enggggaaak.....”. Dan
kenapa saya menjawab seperti anak SD yang kepergok merokok di WC kepala
sekolah?, bangsat. Kenapa dia tau kalau kulirik dalam diam.
“Udah, ngaku aja gapapa. Bolehkah
aku duduk di sampingmu?”. Enak ya itu bibir dan rahang benar-benar ringan.
“Oh, silahkan”.
“Jadi, sebenarnya tuh aku udah tau
dari tadi kamu ngeliatin aku”.
“Maaf, apabila mengganggu. Gak ada
niatan apa pun, cuma bengong aja tadi”. Jawabku sekenanya. Padahal memang
kupandang parasnya sebab tak ada lagi yang bisa kupandang untuk mengalihkanku.
“Nggak kok, aku nggak keganggu”.
“Tapi tetep aja aku minta maaf”.
Fiuuh, syukurlah.
Itulah sejarah singkat aku bertemu dengan dia. Setelah itu kami
berbincang tentang apa saja. Mulai dari teman sebayanya tak kurang ajar
bahasanya kepada orang tua, adik laki-lakinya yang ketahuan membeli konsol gim
dengan uang tabungannya, pengalamannya menampar lelaki hidung belang yang
menodai sahabatnya, hingga larut pun menjemput. Lampu taman sudah menggantikan
temaram senja, penjual asongan berganti oleh anak-anak pengamen, dan jajaran
penjual bunga di atas got sudah disulap jadi kios angkringan yang berjejer
sepanjang pagar taman kota.
**
Setelah itu aku terus bertemu dengan
dia, di bangku taman kota yang menghadap barat. Dia pun selalu datang ketika
ufuk sudah bersimbah senja. Tak perduli hujan dia selalu datang membawa
ceritanya. Membawa kehangatan bagiku. Orang yang terbuang dari dunia.
Hanya di saat itulah aku merasa
sebagai manusia. Manusai yang haus akan kehangatan kasih sayang. Sudah kuanggap
dia sebagai pelarianku atas semuanya. Kami semakin dekat, tempat berbincang
kami tak melulu di bangku taman kota, tekadang kami berjalan-jalan ke hutan
raya di pinggiran kota. Oh, betapa bahagianya aku waktu itu.
“Tau nggak, selama ini kita sering
jalan bareng tapi ada satu yang aku belum tau tentang dirimu”. Aku memulai
percakapan di sore cerah yang tak kalah biasa dari hari-hari biasanya.
“Apa?”. Dia bertanya balik sambil
mengunyah batagor yang dibungkus plastik bening yang kubelikan dari mamang di
pinggir jalan depan taman kota.
“Sampai saat ini kita belum pernah
berkenalan”.
“Oh”. Jawabnya pendek
“Kok O doang sih?”.
“Emang kenapa?, aku tak pernah
permasalahin itu, dan selama ini juga berjalan biasa aja meski sampai sekarang
aku gak tau namamu siapa dan kamu pun gak tau namaku siapa”. Jawabnya
diplomatis seraya membuang bekas bungkus batagor tadi sembarang saja ke sudut
taman kota.
“Oke lah kalo gitu”. Yasudah, kami
berjalan kembali.
**
Tanpa kusdari percakapan di sore
hari yang biasa itu berdampak luar biasa. Sekarang meski aku tiap sore datang
dengan rutin dan duduk manis di bangku taman yang menghadap barat, dia tak
pernah kembali. Tak pernah sekali-kali pun dia kembali. Oh, dia kembali
membuatku hanya termenung di bangku taman ini, hanya menunggu sampai senja
menemui ajal dan diriku diusir segerombolan nyamuk betina yang tanpa belas
kasih.
Aku mulai linglung. Aku sebelumnya
yang tak pernah punya perasaan rasa memiliki seseorang menjadi hampa. Batinku
menjerit perlu akan suapan kasih sayang kehangatan yang selalu dia tawarkan.
Oh, Tuhan kenapa jika memang rasa kehilangan itu sakit, janganlah hamba dahulu
diberi manisnya rasa memiliki. hanya itu jeritku pada Tuhan yang melangit.
Semakin hari aku semakin linglung
mencari kehangatan yang pernah ia tabalkan. Sekarang setelah aku terusir dari
bangku taman itu, aku menggelandang ke kolong metropolitan. Mencari segala
sesuatu yang bisa memberiku sedikit kehangatan meski itu amoral maupun
nirfaedah. Terkadang aku dapatkan dari begudal pasar tradisional di utara kota.
Terkadang kujaring dari lambaian jalan mawar yang sudah mashyur sesantereo
negeri marchapada sebagai red light districtnya kotaku. Terkadang juga
aku mengunjungi pelabuhan di dermaga tanjung yang berada di kota sebelah. Semua
itu hanya kulakukan demi suapan-suapan kehangatan untuk meninabobokkan tangisan
hatiku.
Petualangku di malam hari semakin
membuatku kelam sekelam malam saat ditinggal sang chandra ditelan aditya.
Berjoget di gemerlapnya dunia malam, menikmati remang-remang warung remang di
pinggiran bentangn sawah, minuman keras semua jenis pun pernah aku tenggka
semua. Aku tak sadar bahwa semua usahaku tidak membuat batinku semakin tenang
dan melupakan ketidakadirannya. Malah aku semakin putus asa dalam mengejar
hangatnya kasih sayang dalam dinginnya malam ketika belum berganti fajar.
Rutinitasku duduk di bangku taman
kota yang menghadap barat pun mulai sering kutinggalkan. Sekarang aku lebih
sering sering bangun ketika mentari tak lagi mengangkangi bumi. Ya, memang
ketika fajar menyingsing aku baru memejamkan pelupuk mataku. Malam dan
siang,pagi dan sore hanyalah sebutan orang lain saja pada fase-fase hari.
Bagiku tak ada bedanya. Hanya detik berganti menit, menit berganti jam, dan jam
berganti hari. Tapi, hingga hari berganti bulan pun, kau masih belum pernah
menampakkan dirimu lagi di depan mataku yang sudah lelah menangis hingga sembab
semenjak kau menghilang dan sirna.
**
Mataku memicing tersinari oleh sorot
jauh matahari yang mulai melambai tanda akan ditenggelamkan ufuk di ujung
horizon. Sialku hari ini tidur dengan wajah menghadap pintu terbuka yang
menyongsong arah barat. Terpaksa aku bangun ‘sepagi’ ini. Kepala masih berat
sebab kemarin malam aku menenggak dua botol anggur putih pemberian di Anto,
temanku dari dunia malam yang anak dewan tapi kurang kasih sayang.
“Hmm, mungkin seluruh orang yang penghuni dunia malam punya masalah
serupa diriku”. Hanya pikirku dalam lamun. Aku berdiri sambil berpakaian. Anto,
Dyana, Laras masih kelelahan akibat gangbang semalam. Tiba-tiba
terbersit di benkku untuk kembali ke rutinitasku yang lama kutinggalkan. Duduk
termenung di bangku taman kota ynag menghadap barat sambil menikmati senja.
Berjalanlah aku dengan gontai. Menuju taman kota, batinku masih
mlangitkan doa kepada Tuhan. Semoga aku kembali bertemu dengannya disana, di
tempat kami awal bertemu dulu. Sampai sekarang pun batinku tak pernah berhenti
berdoa pada-Mu mengenai ini. Sesampainya disana, mentari sudah tinggal menanti
ajal untuk ditenggelamkan di ujung horizon. Ah, mungkin hari ini ia tak datang
kembali.
Tapi, eh tapi. Dibawah ufuk merah kulihat badan yang dulu pernah aku
kenali meski namanya tak aku kenali. Itu kah dia?. Ah tak mungkin. Kepalaku
berkecamuk. Aku berdiri dan memicingkan mata. Itu dia. Aku pun berlari. tangis
pun pecah.
Kudekap badannya. Badan yang dulu selalu menawarkan kehangatannya bagi
diriku, yang menyamaikan rasa memilik di dadaku. Aku menangis sejadi-jadinya.
“Kau kemana saja sampai saat ini?”. Dengan suara parau sambil sesegukan
karena menangis
“Aku terus kesini setelah menyelesaikan urusanku nun jau disana”. hanya
itu jawabnya. Aku teru menangis dan dia terus mengelus-elus kepalaku. aku terus
memeluknya erat tanda tak mau lagi berpisah. Kuliat wajahnya. Dia juga menangis
sepertiku. Kami sama-sama menemukan hal yang dari dulu hilang dari
masing-masing kami.
Kami tak membuang waktu. Kami langsung menuju rimbunan taman kota.
Memadu apa yang selama ini hilang dari masing-masing kami. Kudekap dia tak
lepas eratnya. Dia melepas semua keduniaan dan atribut manusia dari dirinya.
Aku pun ikut menghilangkan jejak dunia manusia dari diriku. Kusambar dirinya
duluan dan dia pun menyambarku, melumatku. Kami saling tindih, saling berbagi
nafas dan berbagi badan. Tubuh ini punyamu dan tubuhmu pun punyaku. Tak ada
yang mampu memisahkan kita lagi. Kau adalah keluargaku, meski aku tak pernah
tau apa itu keluarga bagiku.
Setelah pergulatan panjang itu kami hanya memandangi langit malam.
Menengok gugusan orion yang berjajar bersabuk tiga. Regulus yang terang
menggerling pada kami. Dua makhluk yang habis memadu kasih mencapai kehangatan
yang selama ini hilang dari masing-masing kami.
“Terima kasih”. Bilangku padanya
“Untuk apa?”.
“Untuk kembalimu”. aku pun terlelap tertidur dalam dekapannya. Ah
tidak, kami saling mendekap di atas hamparan rumput dan dinaungi gagahnya Pterocarpus
indicus yang bedarah layaknya naga yang terluka.
Pagi menyingsing dan aku membuka mata karena tak sanggup menahan
serangan pagi hari. Aku kembali linglung. Dia tak lagi dalam dekapanku. Dia
suda tak ada lagi di sampingku. Dia kembali menghilang. Dia kemana?
Aku menangis sejadi-jadinya. Orang-orang yang lewat Cuma melongok
dengan mata memicing heran. Mungkin aku dikira orang gila, mau gimana lagi. Aku
tak berpakaian, layaknya umat manusia yng terhormat. Aku seperti adam dan hawa
yang kemaluannya tersingkap setelah memakan buah larangan di paradis. Aku terus
menangis
**
Hari ini, kubawakan bunga lagi.
Mungkin kau bosan dengan petualanganmu nun jauh disana. kau mungkin lelah
dengan semuanya. sudah beberapa warsa kau tak lagi pulang ke dekapanku kembali
mendekapku seperti malam itu. Aku tak
lagi tercebur dalam dunia malam kelam gemerlap itu lagi. Karena aku yakin
mungkin kau kembali kesini. Mendekapku lagi.
Oh wahai dirimu yang sampai sekarang
jua aku tak tau namanu. apla arti nama jika dibandingkan dengan semua
kehangatan yang pernah kau berikan selama ini. Bunga yang kubeli dari salah
satu jajaran kongsi penjual bunga taman kota akirnya hanya kutaburkan ke tempat
kita dulu bergumul. Untuk yang pertama dan yang terakhir kali
“Seperti itulah putriku kisah
bagaimana ibumu ini bertemu dengan ayahmu. Mungkin kau tak pernah mendapat
dekapan dari dia. Tapi ibu akan terus berusaha memberi dekapan terhangat
bagimu, maafkan ibumu ini nak, apabila tak bisa mengenalkan ayahmu yang bahkan
namanya juga aku tak tahu”. Kututup cerita masa laluku kepada Dewi putriku
semata wayang dari dia. Dia yang tak pernah kembali.
Dramaga, November 2017
Komentar
Posting Komentar