SURAU IDRUS
Rustam
Cahaya rembulan mengintip di antara dedaunan kelapa
yang rimbun. orang-orang masih asyik menarik selimut, memupuk kisah dalam
mimpi. bermalam di pulau kapuk lagi empuk.Kala itu malam sunyi tak terhias
kerlip bintang, menapaki cerita di setiap sudut malam. Setiap orang, termasuk
aku masih bergumul dengan pulau kapuk itu. Jam masih menunjuk pukul 3 pagi, ah
bukan pukul 3 subuh buta. Aku masih terjaga setelah tadi malamku kalah main
gaple di poskamling, dua porsi kopi pahit hitam racikan Wan Zamzani yang kuteguk
berhasil membuatku terjaga hingga kini. Sementara orang disampingku sudah
tertidur pulas semenjak 3 jam lalu. Malam ini malam yang panjang.
Aku lahir bernama Jeffrey Rustam. Pemuda yang
sehari-harinya jadi pekerja upahan rendah di perkebunan sawit PTPN. Ini karena
aku cuma lulusan sekolah dasar dulunya. Bila
perkebunan sedang libur setiap malam hanya aku habiskan main gaple gaple di
poskamling hingga menjelang fajar. Padahal Almarhum ayahku, Mahfudz Thaib
sangat tak menyukai perangai itu, beliau adalah penggembleng agung dalam urusan
agama dalam rumah kami dulu.
Tiba-tiba bunyi keras mendadak terdengar. Dari arah TOA cempreng nan memekakkan, batinku langsung berkata pasti ini dari arah surau
tua itu.
Ah, ini pasti kerjaan si tua Idrus . Idrus ialah
marbot surau tua di gang kampung kami. Dia sudah sepuh dan renta. Serenta
keadaan surau kami ini. Tiada yang tahu darimana ia berasal, yang kutau ia
sudah dipercaya jadi marbot disini. Saat itu memang marbot sebelumnya, Pak Shaleh
meninggal
ditelan usia. Ada yang bilang
Idrus itu mantan narapidana yang taubat tapi tak diterima keluarganya yang
kemudian akhirnya mengabdi di surau kampung kami.Tapi, ada juga yang bilang ia
adalah orang kepercayaan pak Shaleh, marbot sebelumnya. Ah, tak tau aku mana
yang benar.
Sehari-harinya ia habiskan untuk membersihkan,
merawat, memperbaiki, memanggil orang-orang kampung untuk sholat berjamaah, ya
meskipun hanya beberapa gelintir orang saja yang berkemauaun saja yang datang, aku
saja tidak selalu datang. Selain itu ia dikenal sebagai pengasah pisau belati
yang lihai. Makanpun dia mengandalkan pemberian Soesilo.
Tetangga surau lain selain aku yang mandor sadap kebun karet petak 34. Tapi dibanding aku,
pak Soesilo lebih peduli surau hampir roboh bersama
penghuninya itu.
Pagi-pagi aku sudah dapat perintah kilat. Kopi masih belum tandas, koran belum pun belum
terkapar karena kehabisan berita. Aku disuruh mengasah pisau dapur oleh, siapa
lagi kalau bukan oleh istriku yang pagi-pagi ini sudah teriak-teriak kayak
orang kehilangan akal saja. Mungkin aku memang tidak berbakat mengasah dengan batu
asah yang orang jawa bilang ungkal itu. Kulempar aja kerjaan ini ke si Idrus. Lumayan
menghemat tenaga.
Aku pun pergi ke surau hampir roboh itu. Sampai
disana aku membasuh kakiku, dulu sering aku mencuri
ikan-ikan di
air kobokan kaki ini untuk
dibakar bersama komplotanku. Ah, masa kecil memang membahagiakan. Segera aku
melaju ke kamar marbot yang ada di sebelah kiri mihrab surau depan bedug yang
juga sudah renta dan lapuk.
Tak ada. Si Idrus tak ada, aku pun langsung meluncur
ke serambi terus menuju ke dalam surau. Ternyata ia masih itikaf kerjaan ‘utama’nya
bila ia sudah membersihkan surau dan tak ada orang yang meminta jasanya untuk
mengasah pisau belati.
Kupanggil dia. Dengan suara rendah, ia tak menoleh,
kunaikkan
nada suaraku. Masih tak ada
respon, langsung kudekati ia, kugoyang-goyang ia dan langsung berjengkat tanda
kaget. Ternyata ia tidur. Keparat, kukira ia lagi itikaf. Langsung saja ia kusuruh mengasah pisau dapur rumahku.
“Mau diambil sekarang apa nanti sore?”. Tanyanya
rintih.
“Sekarang saja, lagi buru!”. Sahutku cepat
“Kalau begitu tunggu saja!”. Balasnya. Aku cuma
mangut-mangut tanda setuju. Segera ia pergi ke kamar marbotnya dan
kembali-kembali membawa ungkal yang
kuramal pasti dari Jawa.
Ia pun mulai mengasah pisau dapurku. Selagi ia
mengasah mulai terpikir olehku untuk menanyakan masa lalunya yang simpang siur
itu. Awalnya aku ragu-ragu dan tak enak hati untuk tanya-tanya, apalagi aku tak
terlalu akrab seperti Iwan. Tapi rasa penasaranku mengalahkan segalanya.
“Pak Idrus”.
Aku awali pembicaraan dengan menyapanya.
“Iya nak”. Jawabnya renyah
“Gini lho pak,
aku mau tanya”.
“Tentang?”.
Jawabnya selagi terus mengasah pisau
“Bapak kan seorang pendatang, ya meskipun sudah
sekitar 20 tahunan menetap di kampung ini, di surau ini”.
“Mau tanya tentang asal-usulku?”. Selanya seperti
tau gelagatku mau ‘mengintrogasi’ kehidupan masa lalunya
“Ah, bapak tau gitu”
“Buat apa kau tanya-tanya tentang asal-usulku? Mau
kaubuatkan aku novel tentang kisahku apa hikayat untuk mengenangku?”.
Sanggahnya
“Memangnya kenapa pak? Bapak sudah disini hampir
puluhan tahun, tapi aku pun yang orang
asli sini tak tau asalmu”.
“Baik, kuceritakan masa laluku”. Jawabnya “Tapi,
jangan heran bila kau tak terkesan dengan kisahku ini”.
“Aku gak berharap seru kayak di film-film kok pak”.
Jawabku
“Dulunya aku ini seorang pegawai negeri di
pemerintahan kota, hidupku mapan dan sudah punya istri serta 2 orang anak satu
laki-laki, satu perempuan”. Penggalan
pertama kisahnya mulai meluncur dari lisannya.
“Karena posisiku yang strategis di strukrural
kepegawaian, aku banyak terima suap dari mana-mana, kemudian korupsi mulai
menjangkiti kehidupanku”.
“Sampai suatu hari aku ketemu seseorang yang
sederhana, seorang teman masa sekolah di H.I.S dulu yang sekarang jadi pengajar
di perguruan tinggi di ibukota. Dia memberiku pencerahan berdasarkan pengalaman
hidupnya malang melintang di ibukota. Dia memperingatiku untuk berhenti saja
sebagai pegawai negeri yang sarat korupsi, kolusi dan nepotisme. Dia bilang
hasil korupsi tak ubahnya racun bersimbah madu, manis tapi menghancurkan”.
Idrus jeda untuk mengambil nafas sejenak. Kemudian
ia kembali meneruskan ceritanya yang sepertinya masih panjang.
“Kuikuti kata-kata temanku itu, aku tanggalkan semua
pangkat kepegawaianku. Kuambil semua jatah uang pensiunku dari bank. Aku
pensiun dini demi memperbaiki hidupku yang penuh dosa ini. Aku berkelana dan
akhirnya sampai di surau ini kemudian berkenalan dengan Pak Shaleh. Ia kemudian
mempercayaiku sebagai penerusnya”.
“Begitulah kisah masa lampauku”. Pak Idrus
menghentikan ceritanya.
Tapi aku masih belum terpuaskan dengan ceritanya.
Aku pun mulai berimprovisasi.
“Tapi pak, bagaimana dengan nasib istri dan kedua anak
bapak yang bapak tinggal di kota sana?’. Tanyaku
“ Oh, mereka”. Jawabnya santai dengan membolak balik
pisau dapurku dan diterawang dibawah terik sinar matahari.
“ Hampir seluruh uang pensiunku sudah kuberikan
istriku, pasti cukup untuk hidup. Banyak kok uangnya”. Jawabnya meneruskan
“Tapi dia masih istri bapak kan?”. Tanyaku
“Ya”.
“ Sampai sekarang
juga masih sah?”
“Ya, sampai sekarang, dia seorang perempuan yang
pengertian”
“Terus, anak-anak bapak, umur berapa saat bapak
tinggal?”.
“Yang perempuan sudah remaja, tapi yang laki-laki
masih belum akil baligh”.
“Wah, wah, wah!”. Kuucap sambil menggelengkan
kepala.
“Memangnya kenapa?”
“Sebagai seorang suami dan seorang ayah, bapak sudah
menelantarkan kewajiban bapak terhadap sesama manusia, yang hablum minan naas. Apa bapak tak pernah
berpikir bahwa istri bapak tak hanya butuh nafkah harta saja dan anak-anak anda
butuh lebih dari materi untuk tumbuh dan berkembang?”. Aku nyerocos begitu
saja. Aku sudah panas semenjak dia mengeluarkan statement-statement tentang
keluarganya tadi.
Pak Idrus langsung meletakkan pisau dapurku yang
semenjak tadi masih diasahnya, punggungnya menegang. Ia beranjak dari tempat ia
duduk dan menghampiriku yang berdiri di belakangnya sendari ia mengasah pisauku
dari tadi. Air mukanya juga berubah, menegang.
Dari
gelagatnya aku tau kalau ia mau melawan perkataanku sepertinya menohok harga
dirinya tadi.
“Hei anak muda!”. Sergahnya tegas.
“Tau apaan kau tentang kewajiban seorang laki-laki. Aku meninggalkan mereka
demi tuhan, demi Allah yang khalik. Kepentingan manusia yang sepele tak ada
apa-apanya dibanding penghambaan kepadanya secara total. Dan pasti istriku juga
senang bila aku berubah menjadi seperti ini. Tentang anak-anakku, mereka pasti
sudah bisa menjalani hidupnya tanpa aku”. Si Idrus membalas cerocosanku dengan
berapi-berapi. Pasti dia tak mau kalah melawan aku yang dinilainya masih belum
merasakan asam garam kehidupan yang sebenarnya. Tapi, lihat saja siapa nanti
yang lebih kuat.
“Idrus!”. Aku sudah menanggalkan
gelar ‘pak’ darinya. Aku sudah dibakar api debat yang berapi-api.
“Tak taukah kamu apa isi Al-Quran,
wahai Idrus?”. Tanyaku yang segera kusahuti tanpa memberi kesempatan Idrus
untuk menjawab.
“Sebagian besar isi Al-Qur’an
berkenaan dengan urusan muamalah, urusan
antar manusia. Mulai dari utang piutang, waris hingga fiqh dibahas oleh Allah
di Al-Qur’an. Itu menendakan bahwa Allah sama sekali tak mengesampingkan urusan
antar hambanya. Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wasalam pun diutus di
alam semesta ini tidak lain untuk menyempurkan akhlaq para hambanya. Rasulullah
itu kekasih Allah, orang yang maksum dan seorang yang baik moralnya pun tak
mengesampingkan perkara-perkara antar manusia di semasa hidupnya. Ingatlah
Idrus, sampai sekarang pun istri dan anak-anakmu itu berhak untuk mendapt rizki
dan kau berkewajiban untuk memenuhinya!”. Emosiku meledak-ledak sampai-sampai
aku menunjuk-nunjuk muka si Idrus yang sudah mulai merah padam. Perdebatan
sepertinya masih akan terus berlanjut bila melihat gelagat Idrus yang masih
belum terima atas kelakuanku.
“Hei cecunguk, kukutip ayat Al-Qur’an bahwa Allah
berfinman yang artinya kurang lebih seperti ini “tak kuciptakan manusia dan jin kecuali untuk beribadah” . Aku ini
Cuma orang biasa yang mau menghamba kepada-Nya. Tak perlu lah kau recoki aku
dengan muamalah-muamalahmu tadi. Aku
mau fokus saja menghamba kepada-Nya!”. Balasnya mantab.
“Aku tak tau apa kau lupa atau sengaja lupa atau
malah tak mau tau bahwa Nabi Muhammad bersabda supaya salah seorang sahabatnya
mengikat kudanya dulu sebelum beribadah kepada Allah. Apa kau juga lupa. Kalau
sedang mengejar dunia anggaplah kau hidup selamanya dan bila sedang mengejar
akhirat anggaplah kau akan mati esok hari!”. Sergahku tak mau kalah.
“Memangnya apa salahnya bila aku mau mengejar
akhirat saja kali ini?. Hidupku ini Cuma sekali di dunia yang fana ini. Harapku
mungkin dengan penghambaanku ini bisa menutup dosa-dosaku di masa lampau dan
mungkin Allah sudi menerima aku di surganya!”. Lagi-lagi Idrus tak mau kalah.
“Eh, ku beri tahu kau Idrus. Allah tak suka
orang-orang yang membenamkan dirinya di masjid-masjid untuk berdzikir,
bertafakkur dan menghabiskan semua waktu dalam sisa hidupnya. Yang tak
memikirkan dunianya tempat ia tinggal sekarang. Ingatalah kau Idrus!. Orang
macam kau TAK PANTAS DITUTUP DOSA-DOSANYA, TAK PANTAS DITERIMA DI SURGA NANTI.
Kau tak lebih dari orang yang ingin mencuci baju tapi dengan air kencing. Tak
tambah suci tapi malah tambah najis. Camkan itu Idrus!”. Aku keluarkan seluruh
argumenku aku kira ini sudah cukup mengakhiri adu argument yang semakin memanas
ini.
Tak dinanya. Idrus malah seperti mati kutu. Ia duduk
didepan onggokan ungkal yang dipakainya mengasah pisauku tadi.
Pisaunya pun masih tergeletak di dekatnya. Ia termenung disitu. Tak menyerang
balik terhadap argumenku. Hanya diam seribu kosakata, terpekur dengan sorot mata kosong. Aku
kira kali ini aku benar-benar menghancurkan semua pendiriannya selama ini.
“Pergilah! Pergi dari hadapanku sekarang!”. Idrus
menghardikku.
Aku langsung melaju keluar surau, meninggalkannya.
Sendiri dengan mata kosong, leher terpekur dan punggung lesu. Entah apa yang
berkecamuk di pikirannya. Aku sendiri pun menjadi tak enak hati dengannya.
Keesokan harinya
Orang-orang tiba berlari menuju surau itu sambil
berteriak-teriak mengajak tetangga yang lain. Kusempatkan kutengok apa yang
terjadi selagi perjalanan menuju perkebunan. Sejujurnya aku malu bila nanti
ketemu Idrus, aku kira pasti ia marah besar.
Tetapi pilu menghampiri saat aku sampai di surau.
Lawan debat panas berbumbu emosi kemarin sudah terbujung kaku di biliknya
dengan leher hampir putus dan bersimbah darah yang mulai teroksidasi. Siapa
gerangan yang tega membunuhnya. Kulihat di belahnya ada pisau yang bersimbah
dara. Kuperhatikan, dan itu ternyata pisau itu adalah pisauku yang kemarin aku
minta asahkan kepadanya. Kenapa bisa sepertim ini?. Batinku berkecamuk siapa
dan apa modus pembunuhnya.
Namun tiba-tiba ada Pak Soesilo
yang berkata kepada Haji Djohansyah, ulama
kampung ini. Ia terus-terusan mengatakan kalau ia melihat aku adu mulut hebat
dengan idrus kemarin siang yang kemudian berujung murungnya Idrus hingga malam
ia dihabisi.
“Aku yakin sekali Pak Haji, kalau si Rustam itu
pembunuhnya. Aku juga lihat ia membawa pisau dapur saat adu mulut dengan Pak
Idrus!”. Katanya bersungut-sungut
Dia pasti tidak sadar bila aku disini. Karena aku
masih mengenakan helm.
“Kita tidak bisa asal menuduh orang meskipun
kesaksianmu kuat”. Balas Haji Djohansyah bijaksana.
Tak perlu berlama-lama. Aku langsung pergi
meninggalkan surau yang sekarang menjadi tempat aku dikira membunuh Idrus si
marbot dengan sadis. Sepeda motorku langsung kugeber menuju perkebunan
pemerintah tempatku bekerja. Pikiranku melayang-layang membayangkan nanti rumahku
akan digrebek masyarakat desa. Ah, masa bodoh aku tak pernah melakukan
perbuatan itu. Tapi yang jelas aku harus menyingkir dulu. Dan tak habis pikir
kenapa si pelaku memakai pisauku. Pasti ia mau menjebakku dalam perkara pidana.
Dia harus kucari karena ialah penyebab kesusahanku ini.
*******************************
Idrus
Namaku Idrus. Lahir tanpa trah ningrat, tapi nasib
membawaku ke kemapanan. Aku dibesarkan keluarga Sutan Ismail Rasad, seorang
tuan tanah nan baik hati yang mau-maunya menyekolahkanku hingga lulus sekolah
perguruan hingga mendapat kepercayaan menjabat di pemerintahan kota. Karena
wajahku mirip mediang anaknya yang mati muda ikut bergerak di zaman revolusi bersenjata.
Setelah mendapat pencerahan sehabis terbelit
lingkaran sistem KKN di kantor pemerintah. Aku berusaha bertobat untuk mendapat
ampunan-Nya. Sehari-hari aku habiskan sisa hidupku dengan terus berikhtiar
kepada-Nya dengan mengabdi di surau kecil rent di kampung ini.
Akan tetapi semua usaha yang terus-menerus kulakukan
selama hampir-hampir 20 tahunan ini mulai kuragukan. Setelah pemuda tak tahu
batas bernama Rustam siang tadi. Semua pendirianku dirobohkannya seperti
mendorong tiang yang sudah renta. Aku tak tahu lagi apa selama 20 tahun ini ibadah
–ibadahku dipandang oleh Allah, apa tak dilirik sedikit pun karena aku
mencampakkan keluargaku yang mestinya jadi tanggunganku di dunia. Aku semakin
tenggelam dalam kebingungan
Hari semakin gelap. Karena kata-kata pemuda itu
terus terngiang di kepalaku. Aku hampir-hampir menjadikan sholat maghrib tadi 4
rakaat bila saja aku tak disahuti oleh para makmum. Pada waktu jama’ah sholat
isya’ aku berikan jabatan imam kepada Haji Djohansyah. Takut bilamana nanti
malah jadi enam rakaat.
Hari semakin larut. I’tikaf kali ini tak kuteruskan
setelah lima kali ucap istighfar pikiranku kembali melayang ke kata-kata pemuda
tadi. Aku langsung meninggalkan dalam surau ke serambi. Kembali termenung.
Sekarang aku terlentang dengan tatapan kosong
menatap langit-langit bilik kecilku. Menerawang 20 tahun lalu saat aku
meninggalkan keluargaku henya dengan uang hasil pensiun diniku. Lama kelamaan
aku pikirkan, aku semakin menyesal. Aku merasa aku adalah orang yang paling
tidak berguna. Tanganku meraba apapun yang bisa kujangkau dari kasur tipisku.
Kemudian ada yang berhasil kugenggam. Kulihat, ternyata ini pisau dapur milik
pemuda tak tahu batas yang tadi kuasah. Melihat bayangan wajahku di hata pisau
itu sudah membuat hatiku teriris sembilu, dikuliti hidup-hidup. Aku sudah tak
kuat lagi menanggung beban ini. Kesalahan besar ini, dosa-dosaku yang terus
bertumpuk-tumpuk. Aku mampu menahannya lagi. Kudekatkan mata pisau itu, kulit
leher ku sudah merasakan dinginnya stainless
stell yang kuasah tajam-tajam tadi siang. Kapiler, disusul vena, kemudian
arteriku mulai pecah, akhirnya Izrail
menarik paksa ruh dari badanku yang telah puluhan tahun melekat.
Jombang, 2015
Komentar
Posting Komentar