BACA

Ini hari yang sempurna. Bukan sebab cuaca, bukan pula sebab uang. Cuaca malah sedang hujan gerimis, uang pun selayaknya kelas pekerja lain, tidak mau kalah dengan fluktuatifnya kurs rupiah. Tapi suasana hatiku lah yang membuat semuanya terasa sempurna. Ini hari yang sempurna untuk menggali literasi demi ambisiku. Ambisi novelku tentang kerajaan kolosal di nusantara.

Tiga buku bertumpuk di mejaku, dua adalah susunan profesor indonesianis Australia, sedangkan satu lagi adalah novel tema sejarah panutanku. Ketiganya aku sengaja pinjam dari perpustakaan kota, gedung lusuh nan sunyi itu. Belum lagi kumpulan e-book di dalam gulungan hard drive laptop rentaku. Sungguh sempurna. Sengaja aku duduk di dekat jendela kafe favoritku, sambil menatap lamat-lamat gerimis yang genit. Tak lupa secangkir mocchacino itu, ah ini adalah cuilan surga. Sengaja HP aku nonaktifkan, aku tidak akan mentolerir gangguan sekecil apapun. Ini semua demi ambisiku setahun belakangan. Novel, terutama genre sejarah harus punya landasan yang kuat.

Kupilih terlebih dahulu buku susunan profesor Australia itu, jilid pertama dari dwilogi. Isi pendahuluannya saja sudah berat, aku harus mampu melahap semua babnya hari ini. Kapan lagi aku mendapat kesempurnaan hari bila tidak hari ini. Belum ada lima menit aku merasa jenuh, coba kuseruput mocchacino di cangkir porselen putih itu, ah Cuma bertahan 10 menit kesegaranku. Mungkin membasuh wajah adalah jalan keluar. Aku segera membasuh muka ke toilet.

Kembali aku duduk menghempas punggungku. ternyata sudah ada tiga ibu-ibu umur pertengahan 30an dan terlihat sebaya duduk di meja depanku. Bercekikiklah tawa mereka. Tangan hendak membuka buku kembali, sudah terpegang kover lusuh itu, tapi sebelumnya

“Eh Jeng, udah tau kabar dari Teh Maya belum?”, ucap ibu berbaju putih dengan alis simetris hasil kerja kerasnya berjam-jam menatap cermin. Sebentar, aku urungkan pembukaan halaman buku profesor itu, sepertinya menarik.
 
“Ehhh, gimana-gimana? tentang perceraiannya dengan suaminya itu?”, ibu bercardigan krem menyambar saking antusiasnya. Sedangkan ibu berbaju hitam-loreng-putih dengan kacamata hitam sampai menjedah minum Long Island Ice Tea-nya. Sepertinya ini menarik.

“Jadi mereka itu rujuk jeng-jeng sekalian”. Si ibu baju putih penuh nada provokasi.
“Lha kok bisa?, saya liat kemarin Teh Maya sudah pisah rumah lho”. Kali ini ibu baju loreng yang menanggapi.
“Wah kok antiklimaks sih Jeng Sophi”. Intonasi kurang puas terucap dari mulut ibu bercardigan. Info menarik, si ibu pembuka forum gosip adalah jeng Sophi.
“Gini lhoh jeng-jeng sekalian, pak Hartawan suaminya teh Maya kabarnya setuju membangunkan villa buat dia di Puncak, hyuuu”. Kali ini nada manja keluar dari bibir jeng Sophi.

            “Emang sih teh Maya tuh keliatan matrenya, buat apa coba nikahin pak Hartawan yang duda anak dua itu kalau bukan ngincer harta. Dulu mau saya peringati itu pak Hartawan, tapi ya mau gimana lagi. Si teh Mayanya nempel banget sih”. Hmmm, info menarik dilontarkan ibu berbaju loreng. Untuk menutupi kegitan mengupingku, aku pura-pura main hp yang tadi malah sengaja aku nonaktifkan. Tidak apa-apalah selingan sebentar.

“Eh eh eh, tau nggak si Aldi anak sulung pak Hartawan dari mediang bu Marchia kabarnya juga sampai sekarang masih gak setuju tuh perempuan jadi istri papanya. Buktinya, dia masih gak mau pulang dari kuliah Jerman. Emang ya naluri anak pertama ituuu”. Woah ibu bercardigan terus bersungut-sungut, benar-benar bersemangat.

Tanpa sengaja sebab mendengar kata Jerman aku menuliskannya di kolom pencarian internet. Malah keluar kabar kekalahan kesebelasan u-22 Jerman untuk proyeksi olimpiade dengan timnas 2-0 lewat sontekan Paredes di menit pertama dan sundulan maha beruntung dari Renato. Sungguh Jerman harus menemukan spirit juaranya, kalau tidak rekan-rekan kerjaku tak akan berhenti merisakku sebagai tifosi layar kaca Jerman.

Okelah, sepertiya cukup aku mendengar ocehan ibu-ibu itu. Kulanjut kembali kegiatan yang sudah seharusnya kulakukan di hari yang sempurna ini. Ketiga ibu-ibu itu masih terus mengoceh tentang pihak ketiga, yaitu teh Maya. Sepertinya hampir semua aib dia telah kuketahui bahkan sebelum aku tau yang mana teh Maya sebenarnya. Dasar cewek matre, sombong, gagal mengambil hati anak suaminya, hingga kelakuannya yang tidak mau ikutan ­shopping kemarin dengan alasan tidak masuk akal, lagi tidak ada uang.

Sungguh pak Hartawan, bila anda saya kenal, tak ragu lagi saya menyarankan untuk mengusir saja ular di dalam rumahmu itu. Mending anda mendengarkan nurani anak sulung anda di Jerman itu, tidak kasiankah anda?. Sungguh terbutakan hati anda hanya demi memuaskan hasrat menikah lagi. Ckckckck.

            Kling..
Lonceng pintu kafe berdentang tanda pelanggan baru masuk. Seorang ibu-ibu juga, tapi dengan balutan celana tipe capri berwarna khaki dengan baju atasan blouse kuning pastel. Tak lupa tas kecil hitam bermerek ternama yang hanya ditujukan untuk dompet. Tiba-tiba ibu bercardigan yang tadi bersungut-sungut berdiri sambil melambai.
           
“Hai teh Maya....kita baru aja ngomongin teteh saking kangennya. Kok gak nyampe-nyampe”. Hampir ku tersedak mocchacino, pupilku melebar tanda konsentrasiku sedang maksimal. Belum selesai keterkejutanku melanda mereka mulai berbincang.
“Jadi kan teh, besok arisannya di tempat teh Maya?”. Ibu Sophi akrab
“Jadi dong, tapi gak di rumah ya, di villa baruku, di puncak”. teh Maya si matre itu menjawab dengan penuh kecentilan khas ibu-ibu. Disahut sorakan yeaiiiyyy oleh ketiga ‘sahabatnya’ itu.
           
Oh sungguh manusia pandai mengganti wajah, celakalah manusia yang gagal membaca raut kejujuran. Sungguh rumit lingkaran persahabatan para ibu itu.

Hujan gerimis telah usai, mocchacino telah tandas. Buku-buku itu masih tergeletak pasrah. Tuhan, benarkah ini hariku yang istimewa?. Sungguhpun semua hari adalah milikkmu. Tidak ada pilihan lain sekarang selain buru-buru pulang. Tugas dari kantor masih menumpuk. Novel ambisiusku?, ah nanti saja menunggu hari yang sempurna.
Dramaga, November 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bersisian