Kaleng-Kaleng Berlubangang
Seperti
gelagatnya yang biasa, Ustadz Muharrom masih melayangkan pandangan kasar nan
tajamnya padaku. Aku memang sudah 5 hari bolos dan telah berlarut-larut jadi
buronan Ustadz Muharrom. Tak pelak alasan jarang muraja’ah-lah yang menjadikan aku sebagai target utama serangannya
kali ini. Padahal aku sudah berbaik niat menerjang hujaman air langit yang
menikam bumi sore ini. Sial sedang
menimpa juga. Aku berada di belakang Barok dan Arif. Mereka sudah dikenal atas muraja’ah yang lama sekali durasinya.
Sama-sama tidak lancar. Kalau aku sih tak pernah mikir panjang, lah aku ini
cuma disuruh, lebih pasnya dipaksa Ayahku ikut program tahfidz disini. Santai
saja lah. Lah cuma buat mengugurkan kewajiban.
Aku
masih berkutat di juz dua.
Entah karena kebanyakan maksiat atau apalah, aku ini gampang menghafal, dan
lebih gampang lagi lupanya, klop dah. Sial lagi,
ngantuk mulai terantuk-antuk di pelupuk mata. Barok malah masih muter di ayat
yang itu-itu aja, tiada harapan. Tak kuat. Aku pun terpulas dalam tidur di
posisi duduk tanpa berbatal wudlu.
******************
Putih,
putih, putih, kosong. Kenapa kok Cuma putih kosong melompong?. Apa ini mimpi?.
Pasti mimpi.
“ini
memang alam lain nak!”. Orang berseru di belakangku
“kalau
begitu apa?”. Tanyaku lugas. “Kau siapa?”
“Kau
tak perlu tau ini apa tempatnya dan siapa aku ini”. Aku mulai merinding disini,
tapi orang itu tak seram kayak gambaran Munkar-Nakir atau Malik. Masak itu
Jibril? Ah tak mungkin, dia khusus Nabi.
“Kalu
begitu apa tujuanmu membawaku kesini?”
“Ada
hal menarik disini, mau kutunjukkan kepadamu”. Aku dibawa ke ruang lain.
Terlihat disana ada banyak orang, sangat bayak. Sedang melakukan sesuatu yang aneh. Mereka menadahi air. Tapi
dengan bodohnya dengan keranjang-keranjang yang banyak lubangnya. Mereka sedang
apa?. Apalah arti gambaran ini bagiku.
“Apa
kau tahu siapa mereka?”. Tanya dia
“Ah..
tidak”.
“Meraka
adalah gambaran orang-orang yang tidak ikhlas dalam hal ibadah”. Katanya
mantab.
Kata-katanya menohok keras menyula
pedalaman nuraniku. Kata tidak ikhlas.
“Kau lihat lebih detail lagi di bawa
kaki mereka!”.
Ku lihat lebih
seksama lagi. Ah, ternyata api hitam mulai menjalari tanah mereka berpijak.
Mereka semua ternyata sedang berusaha memadamkan api itu. Tapi ada daya. Itu
percuma. Semua keranjang yang dipakai mereka berlubang semua.
“Sekarang kau, sekarang giliranmu”.
Dia berkata seraya mendorongku menuju kerumunan massa itu.
“Apa tugasku?”. Teriakku
“Kau cukup padamkan api yang mulai
menjalar di telapak kaki mu itu!”. Benar saja, kakiku melai dililit lidah-lidah
api hitam. “Pakai benda di tangan kananmu itu, bila kau terlilit hingga sampai
hatimu, kau akan berakhir disini”. Kulihat tangan kananku, cuma sebuah kaleng kecil, tapi tanpa lubang.
Aku langsung berlari menuju telaga
besar itu. Kuraih airnya akan tetapi, ternyata bagian
dasarnya berlubang satu. Langsung kusiramkan ke api yang telah melekat di
kakiku. Cesss.... bagian kecil dari api hitam mulai mengecil. Aku berusaha
lagi, kuraih air telaga itu dengan
susah payah, berdesakan dengan anggota lautan manusia lainnya. Berhasil. Tapi,
lubang didasarnya bertambah lagi menjadi dua. Aku harus lebih cepat. Kusiramkan
lebihg cepat lagi ke kakiku. Api menjadi mengcil, tapi tak seperti tadi.
Efeknya berkurang terpengaruh air yang banyak berkurang tadi. Ya Allah apa ini.
Terputus asa. Tak bisa.
Ini harus bisa kuperjuangkan, kuambil lagi air dari telaga itu. Dengan susah
payah lagi, bersumpalan dengan ribuan massa. Berhasil ku raih,tapi hal yang
sama seperti sebelumnya terjadi. Bertambah lagi jumlah lubang di dasar kaleng,
menjadi tiga sekarang. Cepat-cepat kusiramkan ke api hitam di kakiku. Ada daya,
yang tersisa Cuma sejumput air yang meluncur dari kaleng. Aku mulai merasa
perkara ini tak ada gunanya kuperjuangkan. Kugeletakkan saja kaleng itu di tanah.
Aku duduk berselonjor, di tengah-tengah lautan orang-orang yang bersaha menadah
air dengan keranjang berlubang dan panik. Api mulai menjilati betisku. Tak ada
rasa terbakar. Tapi bagian yang telah hangus tak lagi terasa bagian dari
tubuhku. Mati rasa.
Kubiarkan saja.
Nantinya pasti akan selesai sendiri mimpi aneh ini. Api hitam makin ke atas
menjalari paha dengan cepatnya. Kutoleh arah atas, kucari mana orang aneh tadi
yang menendangku ke tempat yang lebih aneh ini. Lama-lama aku mulai bosan
melihat tempat ini, semantara api mulai menjangkiti perutku. Ah, memangnya
kalau terbakar habis aku tak akan bangun dari mimpi aneh ini. Aku mulai
tersenyum nanar nan sinis.
Belum selesai aku
menikmati keadaanku, aku terjenggat. Ada yang menarik leherku dari belakang.
Ahhhhh….. aku berteriak sekuat kencangya suaraku menyontak. Bruk…. Aku terjatuh
di tempat yang jauh dari telaga tapi masih di tempat aneh yang sama. Kulihat
siapa yang menarikku. Seperti yang kunyana, si orang gagah aneh yang membawaku
ke sini.
“hei kenapa kau
menarikku seperti itu, kau piker aku ini hewan hah!”. Kelabar dia bahkan
sebelum ia mengerjap. Blugh… langsung saja ia memberiku sebuah bogem mentah
yang bersarang di wajahku. Aku terpental.
“Apa kau ini bodoh?”.
Ia bicara dengan ekspresi datar. “Kubilangi engkau, ini bukanlah mimpi seperti
yang kau kira!”. Seraya itu aku langsung terdiam kosong dengan pandangan
bingung.
“Kalau begitu beritahu
ini apaan?”. Sergapku dengan secuil tanya
“Aku sebenarnya mau
menuntunmu kembali ke jalan yang benar”. Bukanya dengan intonasi yang mantab.
“kau akan menjalani hidupmu sebagai hafidz Al-Quran tapi niatmu saja
belum lurus, apalagi perangaimu yang saat sekali tidak Qur’ani kau
seharusnya merubah itu”. Berondongnya dengan cepat.
“Memangnya kenapa? Aku
memang terpaksa mengahapal Al-Quran. Terus memangnya kenapa kalau aku
bertingkah seuka hatiku?”. Jawabku tak kalah ganas.
Plakkk…. Kali ini
tamparan keras melandai di pipiku. Aku terjerembab mencium tanah. Gila, sekuat
apa dia ini.
“Kau lihat api yang
menjalari tubuhmu itu!”. Spontan kulihat bahwa api akan menjamah bagian
nuraniku. “Api itu perlambang dosa-dosamu yang menghanguskan tubuhmu yang
melambangkan kebaikanmu. Kau harus memadamkan apinya itu disini dengan air
telaga tadi. Itu adalah telaga Kautsar.tapi apa daya niatmu mengahapal
Al-qur’an dan prilakumu tak sejalan dengan tujuan seorang hafidz untuk menjaga
Al-Quran kalamullah. Apa kau tak punya keinginan untuk membahagiakan orang
tuamu selagi bisa dan ada. Jangan mempersulit dirimu dengan hanya menafsiri
berniat demi Allah itu murni demi Allah dan tak boleh ada yang lainnya. Camkan
ini!, kau berniat membahagiakan orang lain pun telah terhitung sebagai amalan
ikhlas lillahi ta’ala bagi Allah. Juga jangan sekalipun kau kotori
tubuhmu yang mengemban tugas mulia menjaga Al-Quran dengan serangkaian maksiat-maksiat. Apa kau kira dirimu ini lebih
mulia, lebih baik daripada temanmu Barok dan Arif hah?. Sesungguhnya mereka
jauh lebih mulia daripada kau yang hina ini. Niat dan hati mereka jauh lebih
ikhlas daripada dirimu, meski mereka tak dikaruniai akal pikiran sejernih
dirimu. Kaleng itu ialah yang bisa menyelamatkan dirimu sekarang, sayangnya
telah terlubangi dengan niat dan maksiatmu yang merajalela. Cepat! Rubahlah
dirimu selagi bisa”.
Tak perlu berpikr dua kali.
Aku berlari sekencang ku bisa. Kulihat api hitam telah menjamah bagian luar
nuraniku. Kuraih kaleng yang tadi kucampakkan begitu saja. Segera juga aku
berlari menuju telaga. Dalam hati selagi menangis sesegukan. Aku beristighfar
seraya mengubah niatku dan berjanji bertaubat nasuha apabila masih terbuka
kesempatan.
Kuambil air telaga.
Kusiramkan ke sekujur tubuhku. Terjadilah keajaiban. Tak hanya sekaleng air
yang keluar.air teru mengucur keras mengguyur tubuhku. Api-api hitam yang
menjalari tubuhku seketika itu hilang lenyap. Tubuhku serasa menemukan jiwa
baru.
“Engkau berhasil anak
muda, sekarang jalani hidupmu yang baru mulai saat ini”. Sebelum aku
berkata-kata ia sudah melanjutkan bicaranya. “Pegang ini!”. Ia memberiku
secarik kertas terlipat aku genggam keras-keras kertas itu.
“Kembalilah kau ke
alammu”. Dia mengetuk keningku dan seketika itu aku dibutakan cahaya putih
berkialauan.
“Bangun bangun!”. Tubuhku bergoyang bersamaan dengan
terpicingnya mata kantukku. Ustadz Muharrom ternyata yang membangunkanku. Aku
benar-benar tertidur.
****************
Hari ini aku tak muraja’ah sepanjang giliranku,
yang ternyata paling akhir digunakan Ustadz Muharrom untuk tausiyah siraman
rohani kepadaku. Seperti yang kuduga. Masih terngiang mimpi anehku tadi.
Tentang niat, tentang seberapa penting niat itu dan banyak lagi kata-kata orang
itu. Berkelebatlah di ingatanku tentang secarik kertas tadi. Dan kuraba saku baju
kokohku. Seingatku aku memasukkan sesuatu saat aku terbangun tadi. Ah, benar
saja ada kertas itu.
Kubuka lipatannya. Ada huruf arab kecil nan rapi.
Tertulis penggalan hadits Rasulullah dengan huruf arab yang berbunyi innamal
a’malu binniat. Masih belum cukup ketakjubanku masih ada kalimat lain di
ujung bawah kertas. Dan ini lebih mengherankanku. Tertulis begini, dengan huruf
alphabet jelas dan indah; Hamba Allah,Khidir. Pikiranku melayang
menjauh.
Rejoso, September 2014
Komentar
Posting Komentar