Bersisian

Temuilah aku di kereta itu sabtu malam. Kereta Gaya Baru Malam Selatan, kereta nomor 174. Aku berangkat dari Stasiun Pasar Senen pukul 10.15, ku akan sampai di sana sekitar pukul 18.30. Naiklah kereta bersamaku, menuju rumah pamanku di Solo. Kita langsungkan akad disana. Tiketmu sudah kubelikan, tanyakanlah pada petugas bila kau kebingungan.
ttd
wisanggeni
Itulah bunyi suratmu yang kau kirim dengan pos kilat pak pos. Secepat kilat berkelebat menembus aspal Jakarta, hutan beton bercerobong di Karawang, permadani padi di Haurgeulis, hingga punggungan bukit-bukit di Banyumas. Kuterima pagi ini, hari ini jum’at. Bermakna jelas, besok lah hari itu.
***

Dialah masku, Wisanggeni dari Mlojo. Nama nan asing di telingaku. Aku bertemu dia di pelataran Stasiun Kemayoran. Tempat pertama aku jejakkan hikayat hidupku di tanah ibu dari kota-kota Nusantara. Kenapa aku bisa bertemu dia?. Oh, aku ingat kalau dia orang yang pura-pura tidur pula sambil memejamkan mata di KRL laknat itu, bersenjata masker dan lipatan tangan di dekapan dada.
“Hei, kamu yang tadi dengan sabar berdiri dari Bekasi sampai kemayoran kan?”. Enteng kali tuh rahang !.
“Oh, masnya yang tadi merem-merem kayak ayam yang menunggu dijagal itu kan?”.
“Hahahaha”. Tawanya lepas, seperti lepasnya ia dari pandangan.
Sejak masa itu aku yang berdomisili di Matraman, pasti memakai KRL untuk mencapai kantorku di bilangan Kemayoran. Herannya dia selalu jadi orang yang pura-pura tidur di kursi depanku. Oh, Dewaruci tolong hamba. Kenapa saya tidak memakai gerbong khusus wanita?. Oh tidak tidak tidak, disana kejamnya bagai Sungai Nil ketika kemarau menghela.
Sampai suatu ketika,
“Silahkan mbak duduk saja, saya sudah mau turun kok”. Oh sebentar, di menawari saya duduk di kursi itu?. Akhirnya Dewaruci menyampaikan doaku ke khalayak langit.
“Terima kasih masnya”. Dia berdiri di depanku, dia selalu memakai jaket tebal abu-abu dekil, celana bahan hitam dan sepatu pantofel yang agaknya sudah sekitar setengah windu tak bermandikan balutan semir. Sayang sekali kau sepatu, mempunyai majikan macam dia.
“Makasih ya mas, atas kebaikan hatinya”.
“Oh, anggep aja akibat bisikan Tuhan mbak.....”.
“Panggil aja Ula”.
“Oke, mbak Ula anak pertama”. Hmm wait, bagaimana dia tau kalau aku anak pertama?. Iyasih benar aku anak pertama dari empat bersaudara. Sungguh selilit dalam daging. Semenjak pagi itu dia selalu memberikan singgasananya padaku. Pagi berlalu sebegitu cepat hingga aku lalai tidak menanyakan namanya yang akhirnya ku ketahui di hari ke-15 dia berbaik hati. Dengan bertanya tentunya, bukan dengan mencopet dari tas kulit kantorannya.
***

“Mas Wis bentar”. Kupanggil begitu sebab dia lahir lebih dulu 3 tahun sebelumku.
“Ha? apaan?”
“Mas Wis kerjaan apa sih?”. Pertanyaanku di hari ke 47 setelah kebaikannya.
“Oh gak kerja, tapi mengabdi”
“Terus kok bisa tau kalo aku anak pertama?”.
“Ya tau lah, kan ula di Bahasa Arab artinya satu, pertama”. Kutarik kesimpulan dia mungkin seorang guru atau mungkin pegawai Kementerian Agama. Semenjak itu sering lah aku bercakap dengannya, mengenai daerah asalnya, kenapa dia menuju ibukota –yang sebab untuk meneruskan pengabdian dan pendidikannya, kritik besarnya untuk kalangan berkuasa disana, hingga hal remeh macam bedanya kerbau dan sapi.
“Hari ini kuantar ya ke tempat pengabdianmu Mas”. Permintaan tapi dengan nada nanar memrintah, kuucapkan itu di hari ke 102 setelah kebaikannya di atas jalur penghubung Stasiun Pasar Senen dengan Kemayoran.
“Oke, tapi kamu jangan ikut kedalam”.
“Siap”. Kuantar dia dengan jalan kaki, melintasi Jalan Garuda, menembus Jalan Gunung Sahari, hingga Jalan Budi Utomo. Jauh, dan benar-benar jauh tempat kerjanya, sampai di ujung jalan katedral. Wow, apakh dia kerja di Masjid Istiqlal?. Tapi, dia berbelok tajam memasuki bangunan tinggi yang jauh lebih tua dari masjid terbesar di asia tenggara itu. Bangunan dengan gaya neo-gothik dengan tiga menara dan bernama Gereja Katedral Jakarta atau Santa Maria Pelindung Diangkat Ke Surga dalam nama resminya.
“Sudah sampai sini saja Ul, kau tak perlu masuk ke dalam. Nama lengkapku Yusup Wisanggeni, nama baptisku Athanasius. Aku siswa paroki disini, pindahan dari paroki daerahku semenjak setahun lalu. Maaf, bila kau kecewa dengan pengabdianku ini, aku adalah frater”. Kata-katanya panjang tapi runut, oh itulah kenapa ia memakai jaket itu, untuk menyembunyikan segara pasturialnya. Tapi bukankah dia harus tidur di asrama bebilik mungil?. Tak perlu menunggu ba-bi-bu dariku, dia langsung menghilang dari pandangku.
****

Kutunggu wanita itu di gerbong biasanya. Sementara aku memohon semenjak sebelum fajar membara semoga hari ini berlaku seperti biasanya. Gerbong nomor 3 dari depan dan tempat duduk dekat kursi prioritas. Dia selalu disitu dengan mata memohon aku berdiri dari singgasanaku. Tuhan, semoga dia tak menjauhiku.
Dia naik dari Stasiun Pondok Cina seperti biasa dan dia memohon kursku dalam diam seperti biasa. Ah, terima kasih Tuhan.
“Mas Wis, kenapa selalu naik kereta pagi-pagi, bukanyya siswa paroki tidur di asrama?”
“Oh, aku berbeda. Aku harus tiap malam ke Klender dan pagi-pagi menuju Katedral”.
“Ngapain?”. Seperti biasa dia memang penasaran.
“Mau ikut?, tunggu saja di depan gerbang kecil yang kemarin itu jam 9 malam”. Dia pun mengangguk kegirangan.
Seperti yang kujanjikan ke dia, malam ini kuajak dia ke Klender. Dia dengan muka dicerah-cerahkan untuk menutupi kelusuhan dia sendiri setelah kerja sudah duduk manis di kursi taman dekat gerbang itu.
“Cepet ah!”. Kuturuti pinta dia kali ini.
Kereta sudah menurunkan kami di Klender. Langsung kepandu dia menuju seberang jalan. Masuk gang kecil sembari beberapa kali aku menyapa bapak-bapak di depan warkop.
“Sekarang bawa gandengan nih mas?”. Tanya Pak Sugeng yang kalau di siang hari berjualan ayam potong di pasar besar.
“Mana ada gandengan pak, hahahahaha”. Kujawab sepele saja dan tawa Pak Sugeng beserta kawan-kawan karambolnya meledak. Akhirnya kami sampai di depan sebuah bale kampung.
“Mas Wis datang....Mas Wis datang”. Teriak Alvian si anak pemulung sembari mengajak gengnya mengerubutiku.
“Jumlah sekutar 20an dan fluktuatif, mereka adalah anak-anakku”. Kujelaskan pada Ula, sebaliknya kukenalkan mereka juga ke dia. Mereka akrab dengan cepat. Sudah pukul sebelas malam, kububarkan mereka yang mayoritas tak bersekolah lagi.
Aku ajak Ula berpindah lagi, sekarang ke sebuah gubuk kecil di bantaran sungai. Itulah gubuk Kakek Awi, kukenalkan dia padanya yang sudah 6 bulan terakhir hanya tergolek lemah dan hanya mampu makan dan buang hajat di atas tempat tidur.
“Sudah pukul 1 dinihari, besok kan minggu, kau libur tapi aku masih ada misa rutinan besok, mari kuantar pulang ke tempatmu”. Kuantarkan dia ke indekos tempat dia bernaung dengan motor pinjaman Pak Sugeng tadi.
***

“Mas Wis, ayo ikut aku ke Purworejo, ke kampung halamnku”. Ajaknya seketika itu di hari ke 261 dari semenjak aku memberi tempat duduk ke dia.
“Untuk?”.
“Akan kukenalkan ke bapak dan emak, sekaligus adik-adikku”. Bagai sambaran geledek di siang bolong.
“Tapi, apakah bapakmu akan menerimaku?”
“Itu urusan belakangan”.
“Tapi aku frater, aku calon pastor, aku tak dapat menikahimu”. Seketika itu dia menangis dan tak ada kata-kata yang kuucapkan bisa menenangkan dia, tersendu. Oh, aku tau betapa kau sangat kecewa, seperti aku yang juga sangat kecewa pada diriku, pada kedaanku, pada ketidakberdayaanku.
***
Sudah sepuluh hari genap aku tak melihatnya lagi di gerbong seperti biasa. Kucari dari ujung ke pankal tak jua aku bersua. Kutunggu dia di pintu keluar peron sepeti orang gila celingukan –ya aku digilakan oleh dia—pun percuma. Kemana dia pergi.
Sehabis kelas hari itu kupinjam motor bebek buluk milik Romo Soerbakti. Kugeber keras motor itu keras-keras menuju Matraman, tempat tinggalnya. Kudapati kamarnya telah kosong menurut kabar induk semangnya di indekos.
“Mbak Ulanya sudah pergi mas, semenjak 3 hari yang lalu. Katanya pulang ke Purworejo”. Kutatap nanar wajah ibu paruh baya itu. Tiga hari? betapa aku sangat terlambat. “Tapi mas, ini ada titipan yang katanya titipin ke orang pertama yang cari mbaknya”. Ibu itu memberiku sepucuk surat dibalut amplop putih polos dengan segel selotip rumahan biasa.
Mas, aku pulang ke rumah orang tuaku. Aku yakin pasti Mas Wis orang pertama yang mencariku. Sudah selama lima hari semenjak mas tak mau kuajak bertemu bapak, aku terus meyakinkan bapak mengenai rencanaku ini. Alhamdulillah bapak setuju asal mas bersedia tinggal di rumah, tidak di Jakarta. Kutunggu Mas Wis di rumah orang tuaku, jalan perintis kemerdekaan no 31, purworejo. Selesaikan segala urusanmu dengan gereja.
ttd
Ü
Kuremas surat itu. Tombak serasah menghujam ulu hatiku. Betapa aku pengecut. Membiarkanmu melawan bapak dan emakmu sendiri. Tangisku pecah sampai malam menjemput Matraman.
Pertama kuhadapi Romo Budikesumah, Kepala Pembina di Frater. Dia marah besar seraya mengingatkanku dengan keras tentang apa-apa hutang budiku ke gereja. Aku telah buta. Amarahnya kuberangus dengan amarahku. Dia menyuruhku mendinginkan kepala kubalas dengan kobaran amarah yang lebih besar. Selama tiga jam kami membuat lantai dasar asrama bergelora. Romo dan siswa frater lain hanya berani melihat. Akhirnya dia memerintah Erik, teman sebilikku yang 8 tahun lebih muda.
“Erik, bantu Yusup mengepaki barang-barangnya. Pastikan besok pagi ku tak melihat muka dia”. Aku melenggos ke kamar diikuti Erik.
“Ini kamu serius mau mengejar wanita itu?”
“Ya”.
Paginya aku sudah tak lagi di Geraja, membawa satu koper kecil berisi pakaian. Kutinggalkan seragam fraterku di bilik. Sekarang aku harus menghubungi ayahku. Ini jauh lebih berat.
Ya benar saja. ramalanku tak meleset. Kobaran amarahnya jauh diatas Romo Budikesumah.
“Dulu kau bersikeras jadi Pastor, sekarang malah jadi begini, diajari apa kau hah di ibukota?”. Serta banyak lagi luncuran kalimat yang bagai tumpahan amarahnya semenjak aku masih remaja. Empat kali aku menelepon, masing-masing tak kurang dari dua jam selalu berakhir buntu. Tak ada jalan untuk meyakinkan ayah. Aku beralih menelpon pamanku di Solo, paman Harjo. Kuceritakan semua perihal kemalanganku. Dia hanya berujar pelan.
“Bawa gadismu ke rumah paman, langsungkan akadmu disini”. Maaf ayah, ku khianati sendiri harapanku setelah dulu mengkhianati harapanmu kepadaku.
Tanpa menunggu lama, kukirim surat balasanku kepadanya. Cap kilat khusus, kubilang ke petugas loket Pos Besar Ibukota. Surat meluncur, aku pun harus meluncur, sesuai rencana yang kususun dengan paman. Kujemput dia dengan kereta.
****

Hari ini sudah kubersiap. Hanya membawa pakaian seadanya dan kumasukkan ke dalam carrier bag merah. Aku siap menunggu jemputan dari Mas Wis, aku menuju stasiun. Aku bilang ke orang tuaku kala aku akan bertemu kerabat Mas Wis di Solo. Aku masih tak yakin dengan restu bapakku selama ini.
Aku berdiri di ruang tunggu. Sudah berhilir mudiklah kerata api disini. Datang dan Pergi. Jujur ini pertama kali aku ke Stasiun Kutoarjo, selama ini aku pulang naik bus AKAP. Ketika aku datang sudah ada dua kereta saling bersisian. Entah mana kereta yang membawa Mas Wis. Kutanya ke pria muda berseragam restorasi kereta api.
“Kereta Gaya Baru Malam Selatan yang ini mas?”. Seraya kutunjuk gerbong kereta terdekat dari ruang tunggu.
“Ya benar mbak, segera naik, ini akan berangkat”. Tak lama kemudian terdengar peluit yang melengking dari petugas tanda kereta akan berangkat. Aku pun naik. Setelah itu kereta berjalan perlahan.
Aku cari Mas Wis. Tidak ada di gerbong itu, kucari ke gerbong depannya hingga yang paling depan. Aku mulai panik, kembali kusisir hingga gerbong kedelapan di akhir rang rangkaian. Hatiku berdegup kencang, Mas Wis tidak ada!. Tak patah arang, kutanyakan ke kondektur mengenai daftar nama penumpang. Dicarinya kertas blangko itu.
“Yusup Wisanggeni pak, laki-laki”.
“Tidak ada mbak”.
“Ada pak, dia sudah bilang akan menemui saya di kereta ini”.
“Kalau begitu, masnya yang dicari mbak ini naik dari mana?”.
“Naik dari Pasar Senen pak, turun Solo”.
Raut bapak kondektur itu berubah heran. “Mbak salah naik kerata”.
“Lhoh benar kan pak, ini Kereta Gaya Baru Malam Selatan?”.
“Benar mbak, tapi ini kereta yang menuju ke arah Jakarta dari Surabaya, tadi memang di Stasiun Kutoarjo kedua rangkaian kereta bertemu, tapi kereta yang menuju arah Solo itu yang di jalur sampingnya”.
Kucerna perkataan bapak kondektur itu dengan seksama. Pandangan mataku mulai buram, pipiku mulai basah. Tangisku meledak.
****

Dimanakah engkau Ula?. Pandanganku ke arah bangunan Stasiun Kutoarjo terhalang kereta di sampingku. Sudah sekitar lima menit menit kereta berhenti. Lima menit lagi kereta berangkat dan dia belum nampak.
Priiiiiit. Lengkingan pluit menembus sunyi. Kereta disamping kereta yang kutumpangi mulai berjalan ke arah yang berlawanan dari arah tujuanku. Sekarang dengan mudah kulihat bangunan stasiun. Tapi dia tak jua ada. Aku tak sabar. Aku menuju pintu gerbong dengan harapan menemukan dia clingukan mencari aku. Tidak ada.
“Mas, segera masuk ke gerbong, kereta akan berangkat”. Aku pun menurut saja. Aku berjalan gontai ke kursiku tadi. Lengkingan kembali terdengar dan disahut klakson lokomotif. Sekarang giliran keretaku berangkat, tapi dimana dia. Hingga kereta berjalan sempurna, kursi sebelahku yang seharusnya hak dia masih kosong. Hatiku remuk redam. Mataku mulai sembab selagi kutahan mulutku bergumam. Tapi apa daya, air mata tetap menggelayuti wajahku meski kelopak mataku menutup.
“Kenapa mas?”. Tanya bapak-bapak yang duduk di depanku.
“Ah nggak mas, tiba-tiba saja mata kelilipan, sejak tadi pas keluar gerbong. Seraya kuusap air matau dengan ujung jaket. Kubenamkan kepalaku di sandaran kursi kereta. Aku harus melupakan dia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hak Asasi