Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

SURAU IDRUS

Rustam Cahaya rembulan mengintip di antara dedaunan kelapa yang rimbun. orang-orang masih asyik menarik selimut, memupuk kisah dalam mimpi. bermalam di pulau kapuk lagi empuk.Kala itu malam sunyi tak terhias kerlip bintang, menapaki cerita di setiap sudut malam. Setiap orang, termasuk aku masih bergumul dengan pulau kapuk itu. Jam masih menunjuk pukul 3 pagi, ah bukan pukul 3 subuh buta. Aku masih terjaga setelah tadi malamku kalah main gaple di poskamling, dua porsi kopi pahit hitam racikan Wan Zamzani yang kuteguk berhasil membuatku terjaga hingga kini. Sementara orang disampingku sudah tertidur pulas semenjak 3 jam lalu. Malam ini malam yang panjang. Aku lahir bernama Jeffrey Rustam. Pemuda yang sehari-harinya jadi pekerja upahan rendah di perkebunan sawit PTPN. Ini karena aku c uma lulusan sekolah dasar dulunya. Bila perkebunan sedang libur setiap malam hanya aku habiskan main gaple gaple di poskamling hingga menjelang fajar. Padahal Almarhum ayahku, Mahfudz Thaib sangat

BACA

Ini hari yang sempurna. Bukan sebab cuaca, bukan pula sebab uang. Cuaca malah sedang hujan gerimis, uang pun selayaknya kelas pekerja lain, tidak mau kalah dengan fluktuatifnya kurs rupiah. Tapi suasana hatiku lah yang membuat semuanya terasa sempurna. Ini hari yang sempurna untuk menggali literasi demi ambisiku. Ambisi novelku tentang kerajaan kolosal di nusantara. Tiga buku bertumpuk di mejaku, dua adalah susunan profesor indonesianis Australia, sedangkan satu lagi adalah novel tema sejarah panutanku. Ketiganya aku sengaja pinjam dari perpustakaan kota, gedung lusuh nan sunyi itu. Belum lagi kumpulan e-book di dalam gulungan hard drive laptop rentaku. Sungguh sempurna. Sengaja aku duduk di dekat jendela kafe favoritku, sambil menatap lamat-lamat gerimis yang genit. Tak lupa secangkir mocchacino itu, ah ini adalah cuilan surga. Sengaja HP aku nonaktifkan, aku tidak akan mentolerir gangguan sekecil apapun. Ini semua demi ambisiku setahun belakangan. Novel, terutama genre sejarah h

Bersisian

Temuilah aku di kereta itu sabtu malam. Kereta Gaya Baru Malam Selatan, kereta nomor 174. Aku berangkat dari Stasiun Pasar Senen pukul 10.15, ku akan sampai di sana sekitar pukul 18.30. Naiklah kereta bersamaku, menuju rumah pamanku di Solo. Kita langsungkan akad disana. Tiketmu sudah kubelikan, tanyakanlah pada petugas bila kau kebingungan. ttd wisanggeni Itulah bunyi suratmu yang kau kirim dengan pos kilat pak pos. Secepat kilat berkelebat menembus aspal Jakarta, hutan beton bercerobong di Karawang, permadani padi di Haurgeulis, hingga punggungan bukit-bukit di Banyumas. Kuterima pagi ini, hari ini jum’at. Bermakna jelas, besok lah hari itu. *** Dialah masku, Wisanggeni dari Mlojo. Nama nan asing di telingaku. Aku bertemu dia di pelataran Stasiun Kemayoran. Tempat pertama aku jejakkan hikayat hidupku di tanah ibu dari kota-kota Nusantara. Kenapa aku bisa bertemu dia?. Oh, aku ingat kalau dia orang yang pura-pura tidur pula sambil memejamkan mata di KRL laknat itu, bersen